Beranda | Artikel
Status Penghasilan Haram karena Tidak Tahu
Minggu, 1 Juni 2014

Tidak Tahu Kalau Berpenghasilan Haram

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, ketidak tahuan ada dua,

  1. Tidak tahu yang ditoleransi. Keadaan dimana seseorang benar-benar tidak tahu tentang hukum syariat.
  2. Tidak tahu yang tidak ditoleransi. Inikah ketidak tahuan karena sikap meremehkan dan tidak mau tahu. Atau dia sengaja menutup kesempatan untuk tahu, karena khawatir apa yang dia perlajari bertentangan dengan perbuatannya.

Orang semacam ini, sekalipun dia tidak tahu, dia dihukumi seperti orang yang tahu. Karena aslinya dia tidak mau tahu, bukan tidak tahu.

Kedua, orang yang melakukan keasalahan dalam islam karena tidak tahu, tidak dinilai sebagai dosa. Karena ketidak tahuannya merupakan udzur baginya. Dalam satu kaidah umum dinyatakan,

جَهْلَ المكلَّف بالحُكم مُوجِبٌ للعُذْرِ

Ketidak tahuan mukallaf terhadap hukum, mengharuskan adanya udzur.

Sehingga dia tidak dinilai berdosa.

Hanya saja, jika kesalahan yang dia lakukan terkait hak sesama manusia, maka dia berkewajiban mengembalikan haknya.

Dalam Risalah Lathifah dinyatakan,

والناسي والجاهل غير مؤاخذين من جهة الإثم، لا من جهة الضمان في المتلفات

Orang yang lupa dan orang yang bodoh tidak dihukum dari sisi dosa, namun dia tetap menanggung ganti rugi karena merusak hak orang lain. (Risalah Lathifah, as-Sa’di).

Ketiga, harta haram yang diperoleh seseorang ada dua,

  1. Harta haram yang diperoleh melalui transaksi saling ridha, seperti transaksi riba, upah pelacuran, jual beli barang haram, dst.
  2. Harta haram yang diperoleh secara dzalim, atau karena paksaan atau penipuan, seperti korupsi, mencuri, merampok, dst.

Untuk harta haram jenis pertama, tidak perlu dikembalikan kepada pemilik sebelumnya. Karena harta ini didapatkan dari transaksi saling ridha. Meskipun statusnya tetap harta haram, yang tidak boleh dimiliki. Sementara harta haram jenis kedua, harus dikembalikan kepada pemilik sebelumnya. Karena harta ini diambil secara dzalim.

Syaikhul Islam menyatakan,

وتبين بما ذكرناه أن من آجر نفسه أو دوابه أو عقاره أو ما يتعلقه وأخذ الثمن والأجرة لم يحرم عليه. سواء علم ذلك الثمن والأجرة حلالا للمالك أو لم يعلم حاله بأن كان مستورا وإن علم أنه غصب تلك الدراهم أو سرقها أو قبضها بوجه لا يبيح أخذها به لم يجز أخذها عن ثمنه وأجرته

“Dari apa yang telah kami jelaskan, dapat disimpulkan bahwa orang yang berkerja ‎dengan cara halal, atau menyewakan kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan ‎upah, maka upah itu halal dan tidak haram.  Baginya sama saja mengetahui bahwa penyewanya ‎mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak mengetahuinya. Namun bila ia ‎mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya dengan cara merampas, atau mencuri, atau ‎melalui cara yang tidak halal baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk ‎menerimanya sebagai upah atau uang untuk membeli barang dagangannya.” (Majmu’ Fatawa; Ibnu Taimiyyah; ‎‎29/330)‎.

Keempat, harta haram yang dimanfaatkan seseorang karena tidak tahu

Orang yang bekerja di bidang yang haram dan memanfaatkan harta haram itu karena tidak tahu, tidak berkewajiban mengganti harta itu.

Di masa jahiliyah, ada beberapa sahabat yang profesinya sebagai kreditur riba (bank plecit). Diantaranya, sahabat al-Abbas bin Abdul Muthalib. Ketika islam datang dan turun ayat pelarangan riba, harta hasil riba yang dia dapatkan di masa silam, tidak diperintahkan untuk dikeluarkan dan diserahkan ke baitul mal. Allah hanya perintahkan mereka untuk meninggalkan riba saat itu juga, sementara hartanya di masa silam, tetap menjadi miliknya.

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 275)

Dr. Muhammad Ali Farkus – ulama Aljazair – menyatakan,

ويُباحُ له الانتفاع بالمال المحرَّم المقبوض جهلاً بعقدٍ أو عملٍ محرَّمٍ؛ لأنَّ أخذَه وقع في ظَرْفٍ يعتقد المكلَّف حِلِّـيَّةَ اكتسابِهِ من غيرِ أن يتعمَّد إيقاعَه على الوجه المحرَّمِ، لتَنَاوُلِ الآيةِ الكريمةِ له في قوله تعالى: ﴿فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ﴾ [البقرة: 275]، إِذْ هي تشمل بعمومها ما اكْتَسَبَ مِنْ مالٍ حرامٍ قبلَ الإسلام وبعدَ نزولِ التحريمِ،

Boleh memanfaatkan harta haram yang dia dapatkan karena tidak tahu, baik dari transaksi atau pekerjaan yang haram. Karena dia mengambil harta itu pada keadaan ketika dia meyakini kehalalan usahanya, tanpa ada kesengajaan untuk melakukan hal yang haram. Berdasarkan keumuman makna ayat, ”Siapa yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya terserah kepada Allah..”

Dan ayat ini mencakup semua harta haram yang didapatkan dari kerja terlarang, baik sebelum datangnya islam, maupun sebelum turunnya ayat di atas. (sumber: http://ferkous.com/site/rep/Bi130.php)

Di kesempatan lain, beliau juga menjelaskan,

فإن هذا النوع من الجهل يعذر صاحبه، ويعفى عن المال الذي اكتسبه من مصدر محرم قبل معرفته للحكم الصحيح لقوله تعالى: ﴿فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ﴾ [البقرة : 275] فالآية -وإن نزلت في شأن من يتبايع بالربا من المسلمين- فالعبرة فيها بعموم اللفظ لا بخصوص السبب، وإذا كان الله تعالى قد عفا للمسلم عن المال المكتسب بالربا قبل نزول التحريم فيلحق به سائر المكاسب المحرمة قبل العلم بها، وعليه فهي له حلال ولأبنائه فلا يحكم عليها بالرد والتخلص والبطلان

Kebodohan semacam ini menjadi udzur baginya, sehingga dia dimaafkan untuk memakan harta yang dia dapatkan dari sumber yang haram sebelum dia mengetahui hukum yang benar. berdasarkan ayat, ”Siapa yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mengambil riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya terserah kepada Allah..”

Meskipun ayat ini turun berkenaan dengan kaum muslimin yang melakukan transaksi riba, namun yang menjadi catatan adalah kandungan makna yang umum dan bukan kekhususan sebab.

Ketika Allah memaafkan kaum muslimin terhadap harta yang didapatkan dari hasil riba sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya, maka termasuk dalam ayat ini, semua pekerjaan haram yang dilakukan karena belum mengetahui hukumnya.

Oleh karena itu, harta tersebut statusnya halal baginya, dan bagi anak-anaknya. Dia tidak diwajibkan untuk mengembalikan dan mengeluarkan seluruh hartanya, serta tidak dihukumi sebagai harta haram.

Sumber: http://ferkous.com/site/rep/Bi45.php

Demikian,

Allahu a’lam

Ustadz Ammi Nur Baits

PengusahaMuslim.com

Dukung kamidengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/3955-status-penghasilan-haram-karena-tidak-tahu.html